Rakor Kejati, Pemkot Dinilai Picu Kegaduhan, Stabilitas Pasar Butung Terancam
MAKASSAR, SULAWESI SELATAN - Alqantaranews.id -
18 Desember 2025 – Kuasa hukum pengelola Pusat Grosir Pasar Butung Kota Makassar menilai hasil kesimpulan Rapat Koordinasi (Rakor) antara Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) dan Wali Kota Makassar terkait rencana pengambilalihan pengelolaan Pasar Butung sebagai tindakan prematur dan berpotensi merupakan abuse of power.
Kuasa hukum menegaskan bahwa Rakor tersebut tidak memiliki dasar hukum untuk mengintervensi Putusan Perdata Nomor 1276 PK/Pdt/2022 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrah) dan telah dieksekusi pada Agustus 2024.
“Mana bisa hasil Rakor mengesampingkan putusan perdata yang sudah inkrah dan dieksekusi. Jika Pemkot ingin mengambil alih pengelolaan berikut asetnya, silakan menunggu sampai masa addendum berakhir pada tahun 2036,” tegas Kuasa Hukum Pengelola Pasar Butung, Hari Ananda Gani, SH (HAGAN), dalam keterangannya.
Menurutnya, terdapat dua landasan hukum utama yang wajib dihormati seluruh pihak, yakni Putusan Perdata 1276 PK/Pdt/2022 dan Addendum Peremajaan Tahun 2012. Keduanya, kata dia, seharusnya menjadi pedoman Kejati Sulsel dan Pemerintah Kota Makassar, bukan sekadar kesimpulan Rakor yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
HAGAN menegaskan bahwa saat ini pengelolaan Pasar Butung secara sah dilakukan oleh Koperasi Konsumen Bina Duta, bukan lagi KSU Bina Duta. Perubahan badan hukum tersebut, lanjutnya, telah ditempuh sesuai prosedur dengan berkoordinasi bersama Dinas Koperasi dan UMKM Kota Makassar.
“Dinas Koperasi & UMKM bahkan merupakan Turut Tergugat I dalam perkara perdata 1276. Jadi keliru dan mengada-ada jika ada pihak yang menyatakan Pemkot Makassar tidak dilibatkan dalam perkara tersebut,” ujarnya.
Ia menegaskan, Dinas Koperasi merupakan bagian dari instrumen pemerintahan Pemkot Makassar. Oleh karena itu, tidak ada alasan hukum yang membenarkan pengambilalihan pengelolaan Pasar Butung hanya berdasar kesimpulan Rakor.
Kuasa hukum juga menilai hasil kesimpulan Rakor Kejati Sulsel, Wali Kota Makassar telah memicu kegaduhan dan mengganggu stabilitas keamanan Pasar Butung serta lingkungan sekitarnya. Hal ini diperparah dengan pemberitaan media tertanggal 9 Desember 2024 yang dinilai menyesatkan dan berdampak negatif.
Salah satu dampak serius, kata HAGAN, adalah adanya undangan dari Perumda Pasar Makassar Raya kepada para pedagang Pasar Butung untuk menghadiri rapat di ruang Kabag Hukum Pemkot Makassar. Dalam rapat tersebut, Kabag Hukum bersama Perumda Pasar disebut meminta pedagang tidak melakukan pembayaran dengan alasan kontrak koperasi telah diputus.
“Tindakan ini jelas memicu kisruh dan diduga kuat sebagai bentuk provokasi terhadap pedagang. Ini perbuatan amoral dan tidak profesional, serta sangat merugikan klien kami selaku pengelola,” tegasnya.
Atas peristiwa tersebut, pihaknya berencana mengadukan persoalan ini kepada Presiden RI melalui Menteri Dalam Negeri.
Kuasa hukum juga mempertanyakan kapasitas dan perspektif hukum Kabag Hukum Pemkot Makassar yang dinilai lebih merujuk pada putusan pidana perkara Tipikor atas nama Andri Yusuf, ketimbang berpedoman pada putusan perdata yang inkrah.
Padahal, dalam amar Putusan Perdata 1276, khususnya poin 6, 7, dan 9, secara tegas dinyatakan bahwa:
Segala bentuk perubahan atau pemutusan kontrak sepihak terhadap H. Iwan cs adalah batal demi hukum dan tidak mengikat;
Addendum Perjanjian Kerja Sama Nomor 511.2/16/S.Perj/IM dinyatakan sah dan mengikat;
Perjanjian kerja sama antara PT Haji Latunrung L&K dengan Koperasi Bina Duta dinyatakan sah secara hukum.
“Kabag Hukum seharusnya tunduk pada putusan perdata, bukan semata-mata menggunakan perspektif hukum pidana. Indonesia adalah Negara Hukum, bukan Negara Kejaksaan,” tegas HAGAN.
Ia juga mempertanyakan dasar kewenangan Kejati Sulsel dalam mengeksekusi hak pengelolaan Pasar Butung. Menurutnya, kewenangan kejaksaan terbatas pada eksekusi terpidana dan penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi, bukan mengambil alih hak pengelolaan perdata. “Tunjukkan kepada kami payung hukumnya,” tantangnya.
Fakta lain yang disoroti adalah Pemkot Makassar melalui Perumda Pasar Makassar Raya hingga saat ini masih melakukan pemungutan retribusi dan penagihan jasa produksi kepada kliennya sejak Agustus 2024.
“Ini bukti nyata bahwa Pemkot sendiri mengakui keabsahan klien kami sebagai pengelola. Jika kontrak sudah diputus, mengapa masih menagih dan menerima pembayaran setiap bulan?” ujarnya.
Menurut HAGAN, seluruh pembayaran tersebut dapat dibuktikan dengan invoice resmi yang dibayarkan kliennya secara rutin.
Kuasa hukum menegaskan akan melakukan perlawanan hukum apabila Kejati Sulsel tetap memaksakan eksekusi pengambilalihan pengelolaan Pasar Butung.
Ia juga mendesak agar Kejati Sulsel dan Kabag Hukum Pemkot Makassar justru memeriksa Perumda Pasar Makassar Raya atas tindakan penarikan retribusi yang kontradiktif dengan klaim pemutusan kontrak.
“Kabag Hukum harus bertanggung jawab atas kegaduhan ini yang telah membentuk opini publik sesat dan berpotensi memecah belah pedagang dan pengelola,” katanya.
Menutup keterangannya, HAGAN meminta Kabag Hukum Pemkot Makassar memberikan nasihat hukum yang utuh kepada Wali Kota Makassar, baik dari perspektif hukum pidana maupun perdata.
“Kasihan Wali Kota, beliau sedang fokus membangun Makassar. Jangan malah membuat gaduh dan mengganggu kamtibmas di Pasar Butung. Sejak klien kami mengelola, pasar aman, pedagang nyaman, dan pembeli kembali ramai,” pungkasnya.
Sumber : Hari Ananda Gani, SH (HAGAN)/*
Editor :Andi Pooja
Pemimpin Redaksi : Rosdiana Hadi,S.Sos


