Tragedi Senayan: Tujuh Polisi Terbukti Langgar Etik, Nyawa Ojol Jadi Taruhan

 


JAKARTA , - Alqantaranews.id
- Jalanan di sekitar DPR RI dipenuhi riuh suara demonstran. Teriakan tuntutan bercampur asap gas air mata, pada malam  Kamis , 28/8/25

Namun, dari riuh itu, tragedi lahir: Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang mencari nafkah di tengah kerumunan, meregang nyawa setelah tubuhnya terlindas kendaraan taktis Brimob.

Keesokan harinya, Jumat (29/8), Divisi Propam Polri mengumumkan hasil sidang etik awal. Tujuh anggota kepolisian dinyatakan bersalah. “Terduga tujuh pelanggar kami pastikan terbukti melanggar kode etik,” tegas Kadiv Propam Polri, Irjen Abdul Karim, dalam konferensi pers.

Sebagai langkah awal, mereka dijatuhi sanksi penempatan khusus (patsus) selama 20 hari di Mako Brimob. “Kami patsus selama 20 hari,” tambah Abdul Karim, tegas, seolah ingin menegaskan komitmen institusi menjaga disiplin dan akuntabilitas.

Namun, publik bertanya: apakah hukuman ini sepadan dengan nyawa yang hilang?

Jerit Keadilan dari Jalanan

Bagi keluarga Affan, sanksi ini hanyalah permulaan. Dari rumah sederhana di pinggiran Jakarta, tangis kehilangan masih terdengar. Affan bukan sekadar nama di berita. Ia ayah, suami, anak, sekaligus tulang punggung yang pergi terlalu cepat.

Di ruang publik, suara protes mengeras. Aktivis HAM, mahasiswa, dan komunitas ojek online menuntut agar kasus ini tidak berhenti di meja etik, melainkan berlanjut ke ranah pidana. “Hukum bukan hanya untuk rakyat kecil. Polisi pun harus tunduk di hadapan keadilan,” seru seorang mahasiswa di depan Gedung DPR.

Disiplin Hukum dan Ujian Moral Polri

Propam Polri telah menegaskan komitmennya, namun catatan sejarah disiplin kepolisian selalu menjadi ujian moral. Sanksi etik hanyalah pintu masuk. Yang lebih ditunggu publik adalah keberanian Polri menyeret perkara ini ke jalur pidana.

“Polri harus menunjukkan bahwa nyawa warga negara tak boleh ditukar dengan dalih operasional pengamanan. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan, negara akan kehilangan legitimasi,” ucap Abdul Karim dengan nada penuh penekanan.

Tragedi yang Menguji Demokrasi

Kasus Affan Kurniawan bukan sekadar kecelakaan di jalanan demo. Ia adalah potret rapuhnya relasi negara dengan rakyat. Di satu sisi, aparat dituntut menjaga ketertiban. Di sisi lain, rakyat berhak menyuarakan kegelisahannya. Ketika garis itu diabaikan, darah rakyat bisa menjadi tinta yang menodai demokrasi.

Solusi: Keadilan yang Menyembuhkan Luka

Kini bola ada di tangan Polri. Transparansi, keadilan pidana, dan keberanian menindak tegas akan menjadi obat bagi luka yang menganga. Jika tidak, tragedi Senayan hanya akan menjadi catatan kelam berikutnya dalam sejarah panjang benturan rakyat dan aparat.

Affan Kurniawan telah tiada. Namun, dari jalanan Senayan, pesan itu tetap bergema: Hukum harus ditegakkan, tanpa pandang bulu.

Editor  : Andi  Pooja

Tim Redaksi : Rosdiana Hadi.S.Sos

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak