Kisah Sedih Nan Pilu Syahlendra Haikal di Balik Reruntuhan Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo

 


SIDOARJO,- Alqantaranews.id. Kisah Sedih nan pilu di balik Reruntuhan Pondok Pesantren  Al Khoziny di Sidoarjo Jawa Timur.Salah seorang yang berhasil selamat  dalam Runtuhnya Pondok Pesantren Al Khoziny tersebut.

 Nama lengkapnya Syahlendra Haikal, santri berusia tiga belas tahun asal Probolinggo yang belajar di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur. 

Wajahnya polos, tubuhnya mungil, tapi kisahnya membuat banyak orang dewasa tertunduk haru. 

Haikal adalah satu dari sedikit santri yang selamat setelah musala pesantrennya ambruk. Ia terjebak di bawah reruntuhan selama tiga hari, terhimpit oleh beton dan jasad dua sahabatnya.

Namun, di tempat yang gelap dan pengap itu, Haikal menunjukkan keteguhan iman yang sulit dipercaya.

Saat tubuhnya tak lagi mampu bergerak dan udara mulai menipis, Haikal masih berusaha mengingat waktu salat. 

Malam itu, di bawah tumpukan bangunan yang menindihnya, ia mendengar gema azan Isya — entah nyata atau hanya dari ingatannya. Ia membangunkan temannya yang masih hidup di sebelahnya.

“Ayo salat, ayo salat,” katanya pelan, sambil menepuk tubuh sahabatnya.

Temannya yang lemah sempat menyahut, “Siapa yang jadi imam?”

Haikal tak sempat menjawab. Di antara puing dan debu, terdengar suara seseorang mengimami salat. 

Haikal tidak tahu siapa. Mungkin itu suara penyintas lain, mungkin juga bukan suara manusia. Tapi di kegelapan itu, ia tetap mengikuti bacaan, menegakkan salat berjemaah di bawah reruntuhan.

Pagi menjelang. Cahaya Subuh tak pernah sampai ke tempat mereka terperangkap. Haikal kembali menepuk bahu temannya, “Ayo salat, ayo salat.” Namun kali ini, tak ada sahutan. Hanya keheningan. Saat itulah Haikal tahu, sahabatnya telah meninggal dunia.

Tiga hari berlalu. Di bawah timbunan batu dan debu, Haikal bertahan. Ia lapar dan haus, tapi di dekatnya ada dua botol air mineral. Ia bisa saja meminumnya, tapi ia menahan diri. “Itu bukan hak saya,” katanya lirih kepada petugas setelah berhasil dievakuasi.

Tubuhnya lemah, tapi tutur katanya teguh. Cerita tentang Haikal cepat menyebar di antara para relawan dan warga sekitar. Banyak yang menitikkan air mata mendengar keteguhan anak sekecil itu. 

“Haikal menunjukkan bahwa iman bisa jadi penopang terbesar, bahkan dalam keadaan paling sulit,” kata salah seorang relawan yang ikut mengevakuasi.

Ibunda Haikal, Dwi Ajeng, tak kuasa menahan haru saat mengisahkan kembali cerita putranya. Ia menuturkan bahwa di tengah rasa haus yang menyiksa, Haikal sempat mendapat pertolongan tak terduga.

“Katanya anak saya haus sekali, terus ada anak kecil ngasih minum. Setelah itu dia tidur, dipanggil-panggil nggak ada anak kecilnya. Itu yang bikin saya merinding,” ujar Dwi Ajeng dengan mata berkaca-kaca.

Dalam kesaksiannya, Haikal juga berkata bahwa selama di bawah reruntuhan ia bisa tidur dengan tenang, seolah berada di kasur lembut. 

“Katanya posisi tidur kakak itu enak, nyaman, kayak tidur biasa. Padahal kondisinya terjepit reruntuhan. Itu yang membuat saya yakin ada pertolongan Allah,” tambah sang ibu.

Ketika akhirnya tim penyelamat berhasil mengangkat tubuhnya, Haikal masih hidup. Tapi kakinya tidak bisa diselamatkan. Tim dokter di RSUD R.T. Notopuro Sidoarjo memutuskan melakukan amputasi untuk mencegah infeksi. 

Operasi berjalan dini hari, dan setelah sadar, Haikal hanya berkata pelan,

Yang penting saya masih bisa shalat.”

Tak ada tangisan, tak ada keluhan. Anak yang baru saja kehilangan kakinya itu berbicara dengan ketenangan yang membuat para tenaga medis terdiam.

Bagi banyak orang, Haikal bukan sekadar penyintas. Ia adalah pelajaran hidup. Di usia belia, ia sudah memahami makna _tawakal_ — menyerahkan segalanya kepada Allah tanpa kehilangan semangat untuk berbuat baik. 

Ia adalah bukti bahwa pendidikan iman di pesantren bukan hanya hafalan, tapi latihan jiwa: agar dalam keadaan apa pun, manusia tetap bisa berpegang pada cahaya keyakinan.

Kini Haikal dirawat dengan penuh kasih di rumah sakit. Kakinya mungkin telah tiada, tapi langkahnya baru saja dimulai. 

Dari reruntuhan yang nyaris menelan hidupnya, ia bangkit membawa sesuatu yang jauh lebih berharga: kesadaran bahwa Tuhan tak pernah benar-benar jauh, bahkan di tengah gelap dan debu.

Kisahnya membuat kita merenung—tentang arti iman yang sesungguhnya, tentang kekuatan doa yang lahir dari ketulusan seorang anak. 

Haikal tidak hanya selamat. Ia telah mengajarkan dunia bahwa bahkan ketika semua hal runtuh, manusia tetap bisa berdiri—di dalam hati, di dalam doa, di bawah reruntuhan sekalipun. 

Penulis : Edhy Aruman

Editor : Andi Pooja 

Tim Redaksi: Rosdiana Hadi, S.Sos

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak