Keadilan Dipertaruhkan, Kepala Desa Seppong Jadi Terduga Pelaku. Polda Sulsel Gelar Perkara Khusus



MAKASSAR, - Alqantaranews.id - 18 September 2025 –

Kasus kematian tragis Rifqila Ruslan (16) di Kabupaten Luwu kian menyeruak ke permukaan. Publik menyoroti dugaan rekayasa hukum yang dilakukan aparat kepolisian, sementara Kepala Desa Seppong, Irwan Sultan, disebut sebagai terduga pelaku penganiayaan yang menewaskan korban.

Peristiwa bermula dari kecelakaan lalu lintas antara korban dan Irwan Sultan. Rifqila kemudian dibawa ke RSUD Batara Guru oleh teman-temannya. Namun, menurut keterangan saksi AR, RM, IS, dan HL, sebelum mendapat perawatan medis di IGD, Rifqila justru dianiaya oleh Irwan Sultan. Dua saksi yang berada di dalam ruangan menyaksikan korban dipukul di belakang telinga dan pipi, diperkuat kesaksian sekuriti rumah sakit bernama MN.


Keluarga menemukan banyak kejanggalan dalam penanganan perkara ini. Kondisi motor korban hancur parah meski tabrakan hanya mengenai knalpot samping motor milik Irwan Sultan. Polisi juga menyebut korban meninggal akibat benturan kepala, padahal helm korban masih utuh tanpa goresan. Di jidat korban justru terdapat luka yang seharusnya terlindungi helm.


Lebih jauh, rekaman CCTV di lokasi kejadian diduga telah direkayasa, karena yang dijadikan barang bukti hanya potongan rekaman. Hasil autopsi pun hanya dibacakan sebagian besar berisi memar, tanpa laporan lengkap diberikan kepada keluarga.


Ayah korban, Ruslan, menilai aparat tidak serius menangani kasus ini. “Awalnya penyidik menyampaikan pasal 80 ayat (3) junto 351 ayat (3). Tapi dalam SP2HP terakhir, tiba-tiba berubah jadi ayat (1). Anak saya meninggal, tapi seolah-olah hanya dianggap penganiayaan ringan. Ini pelecehan terhadap korban,” tegasnya.

Kuasa hukum keluarga korban, Muhammad Fadjrin, SH, MH, juga mengecam keras langkah penyidik Polres Luwu. Menurutnya, pasal yang dipakai tidak relevan dengan fakta bahwa korban meninggal dunia.

“Seharusnya Pasal 80 ayat (3) junto 79 ayat (3) UU Perlindungan Anak dan Pasal 351 ayat (3) KUHP. Jika tetap dipaksakan pasal ringan, jelas ini bentuk rekayasa hukum dan pelecehan terhadap rasa keadilan,” ujarnya.

Keluarga korban menduga adanya upaya perlindungan terhadap pelaku karena jabatan politiknya. Mereka juga mengaku mendapat tekanan agar kasus diselesaikan secara damai, namun tegas menolak.

“Tidak ada damai, tidak ada mediasi. Nyawa anak saya tidak bisa ditukar dengan apapun. Kami menuntut hukuman maksimal bagi pelaku,” kata Ruslan dengan penuh emosi.

Ketua LSM INAKOR Sulsel, Asri, menegaskan bahwa perubahan pasal merupakan indikasi kuat adanya intervensi hukum.

“Jika aparat tidak berani menegakkan pasal yang sesuai, publik akan semakin yakin hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kasus Rifqila adalah ujian serius bagi integritas Polres Luwu dan Polda Sulsel,” tegasnya.

Secara hukum, Pasal 80 ayat (3) UU Perlindungan Anak mengancam hukuman maksimal 15 tahun penjara, ditambah Pasal 351 ayat (3) KUHP dengan ancaman 7 tahun penjara. Kombinasi pasal ini jauh lebih sesuai dengan fakta bahwa korban meninggal dunia.

Kini, publik menunggu sikap tegas Polda Sulsel: apakah akan menegakkan hukum secara objektif atau membiarkan dugaan rekayasa hukum demi melindungi seorang Kepala Desa

Editor  : Andi Pooja 

Tim Redaksi  : Rosdiana Hadi,S.Sos.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak