MAKASSAR- Akqantaranews.id , 22 September 2025, Siang itu, suasana di sebuah rumah sederhana di Jl. Bontoduri 6, Kelurahan Bontoduri, Kecamatan Tamalate terasa muram. Di ruang tamu yang sempit, NMB, siswi kelas VIII SMP Negeri 29 Makassar, lebih banyak diam, menunduk, dan sesekali menatap kosong ke lantai. Senyumnya, yang biasanya lepas di hadapan teman-teman dan keluarga kini seolah hilang sejak Kamis (18/9/25) lalu, saat dirinya diduga menjadi korban kekerasan fisik oleh guru matematikanya.
Bukan hanya bekas sakit di bagian paha akibat pukulan, tapi rasa malu dan trauma yang membekas karena peristiwa itu terjadi di hadapan teman sekelasnya. “Anaknya tidak banyak bicara sejak kejadian. Kalau ditanya soal sekolah, langsung menangis,” ungkap ibu korban yang mendampingi.
Sekitar pukul 11.00 WITA, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Makassar, drg. Ita Anwar, datang langsung menemui NMS. Dengan sabar, ia mendengarkan penuturan keluarga tentang kronologi kejadian.
“Kondisi anak ini menunjukkan trauma berat. Karena itu, kami akan fasilitasi pemeriksaan oleh psikolog agar mendapat penanganan serius. Korban harus mendapat konseling klinis, konseling tumbuh kembang, dan konseling keluarga,” jelas Ita.
Sehari sebelumnya Kadis DP3A Makassar (21/9/25), juga telah menginstruksikan Shelter Warga Kelurahan Bontoduri untuk mendampingi keluarga korban dan menggandeng Home Care guna memastikan kondisi kesehatan NMS tetap terpantau.
Ironisnya, dalam kunjungan ke rumah korban, sekitar pukul. 15.00 wita, tiba - tiba datang guru matematika dan suaminya bersama wali kelas VIII-3, untuk menjenguk korban sekaligus menjelaskan kronologi kejadian tersebut kepada orang tua korban dan bu kadis DP3A bahwa dirinya memang memukul NMS dibagian paha. Alasannya membuat banyak pihak terhenyak.
“Saya kesal karena NMS bersama temannya mondar-mandir di depan saya sambil tukar-tukaran pisang saat pembagian makanan gratis,” jelas sang guru.
Alasan yang terdengar sepele itu kini berujung pada trauma mendalam bagi seorang siswi SMP.
Saat dikonfirmasi awak media melalui sambungan telepon selulernya, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Achi Soleman, dalam pesan singkatnya menyatakan bahwa sanksi yang dijatuhkan hanyalah teguran langsung.
“Kami sudah memberikan teguran langsung ke yang bersangkutan. Tidak boleh ada kekerasan di sekolah,” katanya singkat.
Sikap ini dianggap sebagai bentuk ketidakseriusan Disdik dalam menangani kekerasan di sekolah. Padahal, sang guru sendiri telah mengakui perbuatannya.
Pemerhati sosial Jupri menilai langkah Dinas Pendidikan terlalu lunak dan berbahaya.
“Guru itu sudah mengaku memukul siswanya. Kalau hanya diberi teguran, ini sama saja melegalkan kekerasan di sekolah. Harus ada sanksi tegas, baik secara hukum maupun administratif. Jangan biarkan kasus ini jadi preseden buruk,” tegasnya.
Jupri mengingatkan bahwa kasus ini bukan sekadar pelanggaran disiplin, melainkan pelanggaran hukum yang jelas diatur dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kekerasan di Satuan Pendidikan.
Fakta dilapangan bahwa masih banyak terjadi kekerasan di sekolah yang menunjukkan bahwa kesepakatan bersama tentang penanganan dan pencegahan kekerasan di sekolah belum dijalankan dengan konsisten. Ketidakseriusan dalam penindakan justru melemahkan upaya perlindungan anak di lingkungan pendidikan.
Kasus SMPN 29 Makassar memperlihatkan jurang besar antara upaya pemulihan korban dan sanksi kepada pelaku. Di satu sisi, DP3A bergerak cepat dengan layanan psikolog, konseling, dan pendampingan. Di sisi lain, Dinas Pendidikan hanya berhenti pada teguran.
Bagi keluarga korban, sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman justru meninggalkan luka. Kasus ini menegaskan pertanyaan mendasar :
Apakah guru masih merasa bebas melakukan kekerasan di kelas?
Apakah pemerintah berani memberi sanksi tegas demi masa depan anak-anak?
Atau teguran semata dianggap cukup menutup kasus ini?
Selama inkonsistensi dibiarkan, ruang belajar bisa berubah menjadi ruang trauma
Penulis : Restu
Editor Andi Pooja
Tim Redaksi Rosdiana Hadi,S.Sos